Siti Masitoh Pionir KS Swasta Dari Garut
|
BANDUNG, MARWITA MAGISWARA: Siti Masitoh merasa beruntung menjadi “pionir” kepala sekolah swasta dari Garut, Jawa Barat, yang merasakan manfaat dari Diklat KS di Marwita Magiswara. Kesempatan ini, diraih dengan cara bersusah-payah -- berburu informasi -- ke kepala pengawas sekolah, browsing via google, bertelepon ke LPPKS Indonesia, kemudian akhirnya menemukan informasi secara kebetulan dari teman sesama guru di Garut tentang Marwita Magiswara.
“Saya kemudian mencoba telepon ke Marwita Magiswara untuk mendapatkan informasi lebih jauh tentang program Diklat CKS – KS. Waktu itu saya belum mempunyai alamat email, sehingga harus buru-buru membuat alamat email untuk dapat berkomunikasi dan mengirimkan berkas-berkas sebagai persyaratan calon peserta Diklat Kepala Sekolah ke Marwita Magiswara,” demikian Kepala Sekolah SDS Miftahu Falah Siti Masitoh sedikit menutupi rasa malu mengisahkan awal mula berburu informasi tentang Pusdiklat Marwita Magiswara.
Setelah semua persyaratan dilengkapi harus menunggu panggilan dari Marwita Magiswara untuk proses seleksi akademik. Semua proses seleksi dijalani dengan senang hati dan kadang-kadang harus menginap di rumah sanak-saudara di Bandung karena takut terlambat mengikuti kegiatan yang telah diagendakan Marwita Magiswara. Diakui jika harus bolak-balik dari tempat tinggalnya di pelosok desa di Garut sangat tidak memungkinkan. Tempat tinggal Siti Masitoh harus ditempuh satu jam perjalanan dengan angkutan pedesaan dari Kota Garut, belum lagi akses dari Garut ke Bandung dan sebaliknya yang sering diwarnai kemacetan parah.
“Tempat tinggal saya di kampung Sirnasari, Desa Mekarsari, Kecamatan Cikajang dari Kota Garut masih berjarak 26 Km kearah selatan dari daerah Pamepeg. Kini program Diklat Kepala Sekolah mendekati selesai dengan program OJL 3 dan tidak lama lagi program pamungkas yakni ISL 3. Baru kemudian jika lolos mendapatkan STTP untuk mendapatkan Nomor Unik Kepala Sekolah (NUKS) dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan,” papar Siti penuh harap.
Siti awalnya merasa minder dengan rekan-rekan calon dan kepala sekolah yang sama-sama mengikuti program Diklat di Marwita Magiswara yang rata-rata datang dari sekolah di kota besar dan sudah maju. Dia mengibaratkan dirinya sebagai ” botol kosong” dalam hal perangkat kompetensi kepala sekolah. Seiring perjalanan waktu setelah melewati seluruh program In On In Service Learning yang sistematis dengan suasana pembelajaran yang kondusif, dibawah pendampingan para master trainers dan komunikasi yang semakin intens dengan sesama peserta merasa botol itu pelan-pelan secara bertahap mulai terisi menuju penuh. Jop. |
|
|